Pages

Jumat, 31 Januari 2014

Sebuah Dendam


Aku adalah seorang gadis yang berumur 17 tahun, duduk di bangku SMA kelas 2. Ya, namaku Rina. Sekolahku terletak di desa Kalijati. Sekarang aku tinggal bersama adikku dan pamanku. Ibu sudah tiada sejak aku berumur 10 tahun dan ayahku pergi tanpa alasan. Terkadang aku merasa diriku hanyalah anak yang menyedihkan tanpa adanya keberadaan orangtuaku. Banyak hal-hal yang pahit yang kulewati di hidup ini. Hal terpahit yang pernah kulihat adalah saat teman-temanku bertemu dengan orangtua mereka. Rasa sedih dan iri, hanya rasa itu yang timbul di dalam diriku.
Pagi itu aku terbangun karena tiupan angin diluar yang kencang, membuat jendela kamarku terbanting. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Hari itu adalah hari Senin, hari yang aku tunggu-tunggu karena saatnya untuk menimba ilmu dan bertemu dengan teman-teman. Ya mungkin beberapa anak tidak menyukai hari Senin, tapi aku sangat menyukainya.
Tiba-tiba adikku bernama Gio mengetuk pintu kamarku.
“Kak bangun kak, waktunya sekolah.” Gio memanggilku sambil mengetuk pintu kamarku.
“Iya iya sebentar.” Seperti biasa, adikku selalu membangunkan aku, setiap pagi jam setengah enam. Kami selalu berangkat ke sekolah bersama. Aku mengantarkan adikku ke sekolahnya dan setelah itu aku berangkat ke sekolahku. Ini sudah menjadi kebiasaan semenjak dulu.
Pelajaran pertama ku adalah IPA. Aku memasuki kelasku dan duduk di bangku tepat di belakang meja Rendi, salah satu teman yang sekelas dengan ku. Kusiapkan buku-buku ku dan kubaca sedikit materi yang aku sudah pelajari, jadi kalau ditanya guru aku sudah bisa menjawab. Tiba-tiba sahabatku menyapa ku seperti biasa.
“Hey Rina!” sapa sahabat ku bernama Nadia.
“Hi Nad, pagi.” Aku menyapa balik dengan senyuman seperti pagi-pagi lainnya.
“Lagi ngapain?”
“Nih lagi baca-baca aja yang minggu lalu udah diajarin.”
“Eh eh, udah ngerjain pr IPA belum? Gue belum nih.”
“Yang mana? Kan ada dua halaman.”
“Yang itu tuh, hmm sebentar, halaman 57. Bingung banget nih, bacaannya banyak sih.”
“Udah nih, mau lihat?”
“Iya dong, hehehe.”
Walaupun Nadia kadang-kadang suka menyalin pekerjaan rumahku dia tetap teman baikku. Mungkin kalau tidak ada dia sekolah akan terasa sepi. Aku kenal dia sejak aku kelas 4 SD. Waktu itu aku sedang membeli makanan di warung dekat rumah dan aku bertemu dia. Dan kami pun berkenalan dan sejak saat itu jadi sering bermain bersama sampai sekarang pun kami satu sekolah.
Setelah aku belajar beberapa pelajaran, bel istirahat berbunyi. Aku keluar kelas bersama dengan Nadia langsung menuju ke kantin sekolah dan membeli makanan favorit kita berdua, mi ayam Pak Yono. Setelah membeli makan siang kita, aku dan Nadia duduk di bangku di koridor sekolah menghadap ke lapangan. Tiba-tiba saat aku akan melahap makanan ku, Rendi datang menghampiri kita.
“Ikutan makan disini dong!” sapa Rendi.
“Ya makan mah makan aja,” jawab Nadia sambil makan.
“Eh ada Rina!”
“Iya hehe, kenapa sih Ren kalau ada gue?”
“Ya gak papa.”
Makan siang bersama mereka adalah saat-saat yang paling aku nikmati. Kita melakukan perbincangan dengan topik yang berganti-ganti, sambil tertawa-tawa. Setelah jam makan siang berlalu, aku harus siap-siap mengganti pakaian ku karena pelajaran setelah ini adalah olahraga. Materi yang akan kita lakukan adalah lari. Guru olahraga akan memanggil nama siswa satu persatu untuk diuji kemampuan berlarinya. Tak terasa, Pak guru memanggil namaku karena sudah giliranku.
Pada saat aku berlari di bawah terik matahari, kepala ku mulai pusing dan aku merasa tidak akan bisa melanjutkan ini lagi. Badanku terasa berat dan aku pun terjatuh. Tatapan ku melihat langsung ke arah sinar matahari, membuat penglihatanku putih. Benar-benar putih. Tak terlihat apa-apa. Aku hanya mendengar teriakan anak-anak yang memanggil pak guru karena aku terjatuh.
Aku melihat seorang perempuan menangis di sudut ruangan yang tampaknya aku mengenali ruangan tersebut. Ternyata ruangan ini adalah perpustakaan sekolahku. Rambut dia yang panjang dan dia mengenakan kemeja dan rok, seperti pakaian sekolah. Aku bertanya kepada dia.
“Hey kamu kenapa menangis?” tanyaku kepada dia.
“Aku tidak bisa menemukannya,” jawab gadis tersebut.
“Tidak bisa menemukan apa?” Aku menanya balik ke gadis itu. Dia tidak menjawabku dan tetap menangis. Setelah aku bertanya ke perempuan itu, aku mendengarkan suara Rendi dan Nadia. Mereka memanggil-manggil namaku.
“Rina, Rina! Bangun!!” teriak Rendi dengan panik.
“Duh, aku dimana? Kenapa?”
“Rina! Lo tadi pas pelajaran olahraga pingsan, tiba-tiba langsung jatuh gitu, ya udah Rendi langsung angkat lo ke UKS,” jawab Nadia dengan perasaannya yang masih panik itu.
“Gue harus bantu perempuan itu!!”
“Siapa sih Rin? Perempuan siapa?” tanya Rendi dengan terkejut.
“Dia, sosok perempuan yang tadi nangis di sudut ruangan perpustakaan. Katanya dia gak bisa menemukan…” Rina berhenti menghentikan omongannya itu secara tiba-tiba.
“Hah siapa sih Rin? Gak bisa nemu apa? Lo kenapa sih?” tanya Rina dengan penasaran
Aku menyadari bahwa itu hanya mimpi sesaat saat aku pingsan. Tapi disaat aku merasanya mimpi, aku merasa itu nyata. Ini benar-benar kejadian teraneh yang pernah aku rasakan. Aku sedikit merasa takut karena aku merasa aku benar-benar berbicara dengan gadis yang ada di mimpiku itu, melihat muka gadis itu saja aku tidak sempat. Aku tidak bisa melepaskan semua tentang mimpi itu dari pikiranku.
Hari sekolah pun selesai. Selama perjalanan ke rumah aku selalu terbayang-bayang oleh pikiran itu. Kenapa aku mendapatkan mimpi yang menurutku tidak wajar? Apakah aku orang yang terpilih? Langkah demi langkah selama perjalananku pulang, pemikiran itu selalu menempel di otakku. Sesampainya di rumah aku bertemu dengan adikku
“Hi Kak, tadi gimana sekolah?” sapa Gio kepada aku yang sedang membuka sepatu.
“Hey Gio, tadi seru-seru aja kok. Pas pelajaran olahraga…”. Aku berhenti berbicara karena aku teringat kejadian itu.
“Kenapa kak pas pelajaran olahraga?” tanya Gio karena penasaran.
“Gak papa kok Gio,”
“Wah, pasti ada apa-apa nih, kasih tau dong aku jadi penasaran,”
“Ih gak papa kok, semuanya baik-baik aja tau!”
“Hehe maaf kak, aku kan cuma bercanda,”
“Kamu mending kerjain pr aja sana,”
“Entar malem aja ah, eh kakak udah makan belum?”
“Belum nih entar aja gampang kok,”
“Wajah kakak sedikit pucat, sakit ya? Pasti tadi pas olahraga ada apa-apa nih?” Gio bertanya lagi dengan rasa penasarannya yang timbul.
“Hmm, yuk mending kita makan sekarang,”
Aku memilih untuk makan sekarang supaya adikku tidak bertanya-tanya penasaran lagi. Padahal tidak ada rasa nafsu makan sama sekali. Gio dan aku menuju meja makan dan membuka tudung saji yang menutupi makanan di meja. Gio mengambilkan ku sepiring nasi, mungkin karena dia melihatku sakit dan kasihan. Baru pertama kali aku diambilkan piring olehnya, ya terkadang dia begitu perhatian terhadapku. Aku menemani adikku yang begitu lahap memakan makanannya, sedangkan aku, satu lahap pun belum. “Kak makan dong makanannya, kan aku udah ngambilin nasinya. Kakak mau apa? Ikan goreng? Sayur kangkung? Atau apa? Sini aku ambilkan.” tanya adikku dan menawarkan dirinya untuk melayani ku. “Gak papa Gio, aku ambil sendiri, nih aku makan deh.”
Berkat perhatian Gio aku akhirnya bisa makan. Setelah makan bersama berlangsung, kami berbincang-bincang, membahas hal-hal yang tidak penting. Tapi entah kenapa aku dan dia tertawa, kami berdua sangat terhibur dengan perbincangan ini. Selama kita berbincang, tiba-tiba pamanku datang menghampiri kita. “Hey kalian, lagi ngapain? Udah makan?” tanya Pamanku kepada kita yang sedang mengobrol. “Udah Paman, makan gih kita temani deh.” jawab Gio dengan senangnya.
Akhirnya paman ikut mengobrol bersama kita sambil makan. Hari pun semakin malam, aku dan Gio bergegas ke kamar masing-masing untuk beristirahat karena besok adalah hari sekolah.
Keesokan harinya, aku melakukan kegiatan rutinku yaitu mengantarkan adikku ke sekolahnya sebelum aku jalan ke sekolahku. Saat aku di sekolah aku bertemu dengan Nadia dan Rendi.
“Eh Ran, lo udah gak papa kan?” sapa Nadia sambil menepuk pundakku dari belakang.
“Iya gue ok ok aja kok,”
“Beneran nih?” tanya Rendi.
“Iya Reeennn,”
“Lo kemaren ngomong apa sih? Katanya ngeliat cewek gitu…” tanya Nadia dengan penasaran.
“Iya jadi gue baru sadar kalau itu mimpi gue, tapi gak tau kenapa ngerasa beneran deh,”
Kemudian aku menceritakan semua kejadian kepada Rendi dan Nadia. Ya walaupun mereka ngerasa aneh dan ketakutan. Suatu saat, aku ingin ke toilet saat jam pelajaran berlangsung. Aku melewati beberapa kelas di koridor lantai dua dan toilet itu letaknya tepat di ujung koridor. Entah kenapa selagi aku berjalan, ada yang mengikuti dari belakang. Saat aku menoleh ke belakang, tidak ada siapa-siapa. Aku sih biasa saja pada awalnya karena terasa seperti tiupan angin. Tetapi lama-lama aku mendengar langkah kaki dan aku menoleh lagi ke belakang. Sama, tetap tidak ada apa-apa. Aku mempercepat langkahku, dan langkah kaki itu terdengar semakin cepat juga seolah-olah seperti bayanganku sendiri. Aku menoleh ke belakang lagi secara tiba-tiba dan ternyata tidak ada apapun. Jantung ku berdetak kencang karena aku gelisah. Rasa takut mulai mendatangiku. Aku mengurungkan niatku untuk pergi ke toilet dan kembali ke kelas dengan tubuhku yang berkeringat dingin.
Tak terasa jam sekolah pun selesai. Namaku disebut oleh walikelas ku untuk mengerjakan suatu tugas sehingga aku harus pulang lebih lama. Tepat pukul setengah enam sore aku pulang dan langit di luar hampir gelap dan sekolah sangat sepi. Hanya ada tukang bersih-bersih yang sedang menyapu lapangan. Aku berjalan melewati koridor dan menuruni tangga. Ketika aku berjalan di pinggir lapangan, aku sekilas melihat sosok wanita duduk di kursi di pinggir lapangan, tetapi ketika aku melihatnya lagi sosok wanita itu hilang. Mungkin aku hanya pusing banyak pikiran, sehingga aku melihat hal hal yang tidak diinginkan. Lalu aku tetap berjalan dengan santai dan mengabaikan apa yang telah aku lihat barusan. Tiba-tiba aku merasa ada yang membisikkan namaku sambil berkata “Tolong aku” di depan telingaku. Aku langsung menutupi kedua telingaku dengan tangan. Kata “Rina” juga terdengar seperti suara bisikkan. Tubuhku menjadi merinding seakan tak ada hentinya.
“Rina,”
“Rina,”
“Rina…”
Ada yang memanggil namaku tiga kali. Aku menengok ke belakang dan tak ada seorang pun. Perasaanku campur aduk. Gelisah. Takut. Khawatir. Semuanya campur aduk. Suaranya pun tidak kukenal sama sekali. Suaranya menyeramkan, serak, dan bergema. Apakah ada yang mengikutiku? Apakah itu suara gadis yang waktu itu ada di mimpiku? Aku bertanya-tanya pada diriku. Kalau iya, kenapa harus aku yang mendapat mimpi itu dan kenapa dia harus mengikuti setiap langkahku saat aku di sekolah? Keringat dinginku mengucur bersamaan dengan badanku yang merinding. Harusnya aku balik ke kelasku. Tapi aku malah diam berdiri tidak berdaya, seperti ada yang memelukku dari belakang. Aku tidak bisa menggerakan badanku sama skali.
Ternyata benar, aku melihat dua tangan pucat memeluk tepat di atas perutku. Aku merasa berat, benar-benar berat seperti ada yang menahanku untuk pergi. Nangis, hanya itu yang bisa kulakukan. Air mataku jatuh bersamaan dengan keringat dinginku tepat di atas kedua tangan itu. Air itu, keringat dan air mata seiring membasahi kedua tangan itu membentuk sebuah kalimat, Jangan tinggalkan aku. Aku tidak bisa berpikir apa maksud dari kalimat itu.
“Tolong lepaskan aku, tolong!” Aku berteriak karena aku tidak tahan lagi. Tetapi dia malah menahanku lebih kuat. “Tolong!! Aku bakal bantuin kamu kalau kamu lepasin!” Aku berteriak itu sambil menutup mata menahan nangis dan lama-lama tangan itu terlihat seperti pudar dari penglihatanku. Apa maksud dari itu semua? Apakah aku yang terpilih? Tapi kenapa harus aku? Lalu aku berpikir sejenak, jangan-jangan ini ada hubungannya dengan mimpi yang aku pernah lalui saat aku pingsan.
Aku kembali ke kelas dengan sambil memegang kepalaku karena pusing dan muka yang basah. Kemudian Rendi dari belakang menyenggol badan ku dengan pensil.
“Lo kenapa? Abis nangis?”
“Iya, gue gak papa, Ren,”
Selama jam pelajaran berlangsung aku terus berpikir dan berpikir kejadian apa itu. Benar-benar omong kosong dan tidak masuk akal. Apa yang gadis itu inginkan? Aku menceritakan kejadian yang telah aku lalui ke Nadia dan Rendi. Lalu mereka merasa itu semua tidak masuk akal. Mereka berpikir bahwa itu semua ada hubungannya dengan mimpi yang pernah aku rasakan.
Nadia dan Rendi bilang kepadaku bahwa aku harus menolong gadis itu. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara berkomunikasi dengannya. Kita memutuskan untuk datang ke sekolah, besok pada malam hari dan mencoba untuk berkomunikasi dengannya.
Keesokan harinya, kita bertiga tidak langsung pulang sekolah. Kita hanya duduk di kursi sekitar koridor. Aku sengaja tidak pulang, karena aku ingin bertanya apa mau perempuan itu. Aku sangat benci kejadian kemarin. Aku berpikir mungkin kalau aku membantunya, dia akan berhenti menghantuiku. Sambil melihat murid-murid mengenakan tasnya keluar pagar, kita mengobrol banyak hal. Nadia ingin membeli minum diluar karena kantin di sekolah tutup bersama Rendi, sehingga mereka meninggalkan aku sendiri. Aku menunggu mereka sambil membaca-baca buku pelajaranku sambil belajar sedikit-sedikit. Sudah lima menit dan mereka belum balik juga.
Dari kejauhan aku mendengar Nadia berteriak namaku “Rina, Rinaaa”. Dia berdiri bersama Rendi sambil melambaikan tangannya. Tapi anehnya aku melihat dia memanggilku dari perpustakaan lantai dua. Harusnya sih dia tadi keluar sekolah, tapi kenapa ada di lantai dua? Karena aku penasaran, aku datang menghampiri mereka. Saat aku mengampiri mereka di depan pintu perpustakaan, tiba-tiba saja mereka menghilang entah kemana.
Lalu aku mengambil langkah untuk masuk ke perpustakaan. Aku mengecek setiap rak buku di dalam. Tiba-tiba saja Pintu perpustakaan tertutup kencang dan tidak bisa dibuka. Aku mencoba untuk tidak panik dan aku berusaha untuk membukanya pelan-pelan. Pintu itu sama sekali tidak terbuka. Aku mulai panik. Aku berteriak minta tolong tetapi tidak ada yang mendengar, bahkan Rendi dan Nadia pun tidak dengar. Aku mulai duduk menenangi diri, dan berpikir mungkin ini ulah perempuan yang misterius itu. “Kamu mau apa?” Aku bertanya. Tak ada respon sedikit pun. “Cepat jawab!!!” Emosi ku meninggi. Aku muak diganggu seperti ini terus. Dia mengganggu aku tanpa alasan, aku gak ada hubungannya sama sekali. “Maaf,” Aku meminta maaf karena mungkin sudah kesal kepada dia. Aku memejamkan mataku sebentar, duduk bersandar di depan pintu.
“DUUK”
Ada sesuatu yang jatuh di depan ku. Itu seperti album foto lama. Kulihat sebuah foto, pria dan wanita dengan sedikit goresan darah. Sepertinya aku mengenali pria ini. Ya aku sangat mengenali pria ini. Ini pamanku. Tapi siapa wanita ini? Kenapa pamanku ada disini? Aku membalik halaman-halaman sebelumnya. Aku melihat seorang anak kecil perempuan bersama wanita itu. Ada tulisan “Nia dan Ibu Lila, 1996.” dibawah foto itu. Aku menyadari bahwa anak kecil ini adalah perempuan itu dan wanita ini adalah ibunya. Nama dia Nia. Semua foto yang ada gambar pamanku pasti ada goresan darahnya. Ternyata ibunya pernah menjadi seorang guru disini. Aku mencari semua data guru-guru yang sekarang maupun dulu di perpustakaan. Dapat! Aku mendapatkan folder berisi tentang Ibu Lila seperti yang tertulis di album itu. Disitu ada yang pernah menulis bahwa dia bunuh diri, dan anaknya yang bernama Nia itu hilang. Tapi yang membuat aku bertanya-tanya, kenapa ada pamanku di album foto itu? Sangat tidak masuk akal.
Aku keluar lari dari perpustakaan membawa album foto itu. Rendi dan Nadia lari di belakangku, mengejar. “Woi, Rin, lo darimana? Kita cariin dari tadi!!” Nadia berteriak menanyaku dari belakang. “Nad, Ren, ini tuh ada apa-apanya sama paman gue!!! Liat nih liat!!” Aku menangis sambil menyodorkan album foto itu. “Hah… Ini beneran paman lo, Rin,” Mereka menenangkan aku yang sedang menangis tidak karuan ini. Kenapa harus ada hubungannya sama paman?! Membuatku kesal saja. Aku seharusnya tidak boleh kesal sama Paman, karena dia yang menghidupkan aku dan Gio selama ini. Tapi, mau tidak mau aku harus bertanya tentang ini padanya.
Sesampainya dirumah, aku melihat pamanku yang sedang duduk di sofa sambil meminum secangkir kopi. “Paman!! Apa ini?!” Aku bertanya kepada pamanku sambil membanting album foto itu di hadapannya. Aku kecewa. Sungguh!. “Rina, Rina, sabar dulu sabar,” jawab Pamanku yang terlihat panik sambil mencoba menenangkanku. Aku menceritakan semuanya kepada pamanku tentang kejadian-kejadian aneh yang telah menimpaku dan aku juga menceritakan semua tentang foto itu. “Iya Rin, benar, Paman meninggalkan tanggung jawab yang seharusnya Paman tanggung sendiri,” Akhirnya Pamanku mengakui itu semua, bahwa itu benar. “Aku gak mau diganggu lagi, Paman!! Aku gak mau ini terjadi terus!”
“Rina, Paman akan memperbaiki ini semua demi kamu,”
Lalu aku tersenyum dan memeluknya.
Paman berkata kalau dia akan mengunjungi kuburan Bu Lila untuk menjenguknya, memberinya bunga dan meletakkan foto mereka disitu. Dia juga akan datang ke sekolah untuk meminta maaf pada anak Bu Lila. Setelah Paman ke sekolah untuk menemui perempuan itu, Paman tidak pernah balik ke rumah. Dia menghilang begitu saja dan beberapa hari kemudian aku mendengar berita bahwa ada seorang pria yang meninggal di belakang sekolahku, dan setelah ku cari tahu, pria itu adalah Pamanku. Ya. Nia, perempuan itu ternyata dendam tanpa batas kepada Pamanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About