Pages

Jumat, 31 Januari 2014

Ajal Yang Datang Seketika


Halloo… Namaku “Rania Natasyha”. Yah biasanya sih di panggil Nia Aku memiliki sebuah penyakit Kanker Hati.
Suatu hari. Kanker ku kambuh, Sehingga aku harus rawat inap di sebuah Rumah Sakit Umum di Jakarta. Saat aku terbangun aku tak menyadari bahwa aku sedang berada di RS. Tersadar ku menoleh ke samping aku melihat sudah banyak peralatan-peralatan medis. Terlihat perawat-perawat sedang berjaga
Lalu perawat itu memanggil dokter yang berada di luar “Dok, pasien sudah sadar”.
Lalu dokter memeriksa ku, keluarga ku menunggu di luar.
Dan akhirnya mami ku masuk kamar. Lalu aku bertanya “Ada apa dengan ku mi?”
Mami ku menjawab “Kamu tidak kenapa-kenapa, tadi kamu hanya pingsan”.
Namun aku tak percaya akan jawaban mami ku melihat akan wajahnya yang cukup cemas, lalu terdengar suara dokter di luar berbicara dengan papi ku, terdengar sepintas pada telingaku dokter berkata “pak, anak bapak telah memasuki kanker hati stadium 3, dan kini kami tidak dapat melakukan apa apa, kita tinggal menunggu saja”. Lalu papiku menjawab “dok tolong anak saya dok”
Setelah mendengar percakapan itu aku langsung meneteskan air mata dan berkata ke mami ku “mam, maaf jika sampai sekarang aku belum dapat membahagiakan mami dan papi, maaf aku yang selalu merepotkan kalian”
Lalu seketika aku merasakan sakit begitu dalam menusuk hatiku.
Dan aku memejamkan mata… Lalu tertidur untuk selamanya.
Cerpen Karangan: Angel Miirzaa Khan
Facebook: Angel Miirzaa Khan
Namaku Angel Miirzaa Khan
Umur ku 10 tahun
Aku sekarang duduk di bangku kelas 6 SDI Al-Azhar Pontianak
Terimakasih kepada sobat semua yang mau meluangkan waktunya untuk cerita pendek karya ku :)

Hari Hari Terakhir Bersama Ayah


Hai teman teman namaku areta griselda biasa di panggil mumun. Waktu itu hari senin, saatnya aku les bahasa inggris. “Yah.. nanti jemput jam 4 ya.” kataku “ya dek” jawab ayah. Pada saat jam 04.00 aku di jemput tepat waktu pulang. Aku dibonceng ayah untuk membeli buah durian kesukaan mamaku. Gak lama aku dan ayah berhenti di pinggir jalan membeli buah durian di toko buah kecil. “Berapa satu ini bu?” kata ayah “10.000 pak” jawab ibu penjual buah “beli 2 ya bu” kata ayah “ini pak, jumlahnya 20.000″ jawab ibu.
Aku melanjutkan perjalanan menuju rumah. Ketika sampai di rumah aku disuruh ayah memberikan durian ini pada mamaku. Aku langsung berlari menuju kamar mama untuk memberikan durian ini. “mamaku yang cantik, ada durian dari ayah!” kataku “oh adek, bilang sama papa makasih gitu ya…” jawab mama dengan senang “iya ma..” jawabku.
Aku langsung berjalan ke papa yang masih memakir sepeda motor di depan, “ayah, mama bilang makasih duriannya” kataku. Papaku hanya membalas senyum manis.
Hari kedua, selasa
Matahari terbit tepat di kaca jendela kamarku. Aku memandang langit yang cerah dengan kicauan burung. “Ayah, bangun udah pagi.” kataku sambil membangunkan ayah “iya, ini ayah udah bangun”. Ketika aku sudah siap berangkat sekolah, aku selalu diantar oleh ayah ke sekolah karena kantor ayahku dekat dengan sekolahku. Pada saat pulang aku di jemput mama. Ketika sampai di rumah aku melihat ayah sedang duduk di kursi teras rumah. “assalamualaikum yah, lagi apa kok melamun?” sambil berjalam menuju ayah “Walaikumsalam, ayah gak ngapa-ngapain” jawab ayah. Lalu mama mendengar suara gerobak lento (makanan) “Pak beli..” mama berteriak memanggil tukang lento itu. “Papa mau lento?” tanya mama “mau lah ma..” jawab papa.
Malam tiba,
“Papa aku tidur dulu ya ngantuk, soalnya besok ada tes olahraga” sambil mengantuk “iya”. Pada saat enaknya tidur aku dibangunkan kakak sambil menangis “adek, papa meninggal!” sambil menangis sedih “hah, beneran ta? bohong kakak” sambil sedikit menangis “iya dek, papa sudah gak ada”. Kami berdua menangis sedih karena seorang ayah yang berharga dalam hidup kami sudah di panggil oleh Tuhan Yang Maha Esa. Ketika waktu menunjukan pukul 02.39 Mama datang dengan ambulan yang membawa jenazah ayah di rumah.
Aku sangat sedih ketika ayah telah dikuburkan di makam depan rumah berserta tata upacara polisi untuk ayah. Semoga ayah tenang disana dan amal dan ibadah ayah di terima di sisi Tuhan YME amien.

My Last Love


Hyunri masih berdiam diri. Dia tidak peduli sama sekali, walaupun hujan membasahi tubuhnya.
“Hyun, ayo pulang. Nanti kau sakit. Eomma-mu pasti sudah menunggu.” kata seorang namja yang setianya menunggunya, Yongwoo.
“Tidak, oppa. Aku tak mau pulang.” jawabnya
“Apa kau ingin mati kedinginan? Hanya karena patah hati kau hanya berdiam diri disini?”
“Dengar, oppa. Dongwoo itu cinta pertamaku. Aku sudah lama berpacaran dengannya. Tapi dia memutuskanku demi yeoja lain yang tidak lain adalah Hyeri, sahabatku sewaktu kecil. Hatiku sangat sakit oppa, kau tak akan mengerti perasaanku.” Hyunri kembali terisak
“Aku mengerti, sangat mengerti. Tapi, apa kau ingin terus menangisinya disaat dia sudah punya yeoja lain? Sadarlah.”
Hyunri hanya terdiam dan tak menjawab pertanyaan Yongwoo.
“Kau tahu tidak?”
“Apa?”
“Kalau dilihat-lihat, Dongwoo itu biasa saja. Aku jauh lebih ganteng darinya.” kata Yongwoo sambil bercanda. Dan berhasil membuat Hyunri tersenyum.
“Lalu, mengapa kau tak punya pacar hingga saat ini oppa?”
“Aku sudah punya seorang yeoja yang kusuka.”
“Siapa namanya? Bolehkah aku berkenalan dengannya?”
“Namanya itu rahasia. Dan hanya ada disini..” kata Yongwoo sambil memegang dadanya.
“Huh, dasar oppa!” cibir Hyunri.
“Ayo kita pulang oppa.” kata Hyunri sambil merebut payung yang dipegang Yongwoo lalu berlari.
“Hey! Tunggu aku Hyun.” jawab Yongwoo sambil berlari.
Rumah Hyunri
“Hyun, maafkan aku. Aku sudah tidak mencintaimu. Aku sudah tidak bisa memaksakan karena hatiku sudah untuk Hyeri.”
Hyunri mengingat kata-kata Dongwoo itu tadi siang. Ia pun memeluk boneka pemberian Dongwoo sambil menangis. Sakit, perih, itu yang ia rasakan. Mengakhiri hubungan, yang terbilang sudah lumayan lama, 2 tahun. Tapi apa boleh buat, Ini sudah terjadi.
Esoknya ketika di sekolah, ia melihat Dongwoo dan Hyeri sedang berduaan. Rasanya ia ingin menangis. Tapi ia menahannya.
“Kau tak apa, Hyun?” kata Ji Hwa, teman sebangkunya.
“Ne, Gwenchana..”
“Yakin?”
“Ne..”
Ketika waktu istirahat, Hyunri duduk di kantin sambil memesan beberapa makanan. Tiba-tiba ada seorang namja yang datang menghampirinya, yang ternyata adalah Yongwoo.
“Hey, Hyunri!”
“Oppa! Kau membuatku kaget!”
“Mianhaeyeo, Hyun. Aku hanya iseng, habis dari tadi kulihat kau melamun saja.”
“Ne, oppa. Ada apa kau kesini?”
“Memangnya tak boleh ya? Lagian aku ini kan alumni sekolah ini juga, aku ingin mengenang masa sekolahku dulu.”
“Kau ingin minum apa, oppa?”
“Tak usah..”
“Oppa, apakah yeoja yang kau suka itu sekolah disini juga?” tanya Hyunri
“Ne.”
“Apa dia seangkatan denganmu? Kalau dia seangkatan denganmu, aku tak tahu.”
“Mungkin, aku juga tak tahu.”
“Dasar, oppa!”
Yongwoo tertawa.
Sore hari, Yongwoo mengajak Hyunri jalan-jalan.
“Mengapa kau mengajakku jalan-jalan oppa?” tanya Hyunri
“Aku rasa ini bisa mengobati rasa sakit hatimu Hyun. Carilah pekerjaan yang bisa menenangkan hati dan pikiranmu, Hyun.”
“Gomawo ne, oppa.”
“Ne..”
“Tapi, mengapa kau begitu baik padaku?”
“Karena kau dan Changmin sudah aku anggap seperti adikku sendiri. Aku tak punya saudara Hyun, kau tahu itu kan?”
“Ne. Sekali lagi, Gomawo ne, oppa. Kau telah banyak berbuat baik padaku dan Changmin.”
“Ne, Cheonma Hyun.”
Pagi hari, Hyunri sedang menonton drama korea di salah satu stasiun TV.
“Kau tak apa Hyun?” tanya eomma.
“Aku tak apa eomma.”
“Sepertinya ada yang kau pikirkan?”
“Dia sedang memikirkan Yongwoo oppa, eomma.” ledek Changmin, adik Hyunri.
“Kau ini gosip saja.” jawab Hyunri sambil mencubit pipi Changmin.
“Benar. Hyunri eonnie berpacaran dengan Yongwoo oppa, eomma!”
“Tahu darimana kau ini?”
“Aku tahu dari Eun Bi ahjuma, ia bilang Yongwoo oppa menyukaimu.”
“Kau ini, kok temanmu ahjuma-ahjuma?”
“Biarin, memangnya tak boleh?”
“Changmin!”
“Eh, sudah-sudah. Kalaupun memang benar, eomma mengizinkan.” kata eomma.
“Kok aku jadi kepikiran omongan Changmin tadi ya? Apa benar, Yongwoo oppa menyukaiku?” gumamnya dalam hati.
Sore Hari, Hyunri mengunjungi Yongwoo.
“Eunbi ahjuma, apa Yongwoo oppa ada di dalam?”
“Ne, masuklah. Dia sedang tidur di kamarnya.”
“Gomawo, ahjuma.”
Hyunri pun memasuki rumah Yongwoo oppa. Dia melihat sudut-sudut rumah itu. Kamar Yongwoo ada di pojok sana.
“Kleek…” Hyunri membuka pintu perlahan.
Ia mengitari ruangan kamar sang oppa sambil melihat sudut-sudut ruangan tersebut, karena baru kali ini ia memasuki kamar Yongwoo oppa. Biasanya mereka hanya mengobrol di ruang keluarga.
Hyunri melihat foto-foto yang ada di meja belajar Yongwoo oppa. Ada beberapa foto yeoja yang sangat cantik, dan tak asing dilihatnya. Dirinya sendiri.
“Aku sangat bingung, mengapa banyak sekali foto-fotoku di meja Yongwoo oppa? Apa benar yang dikatakan Changmin kalau Yongwoo oppa menyukaiku?” tanyanya dalam hati.
Tiba-tiba Yongwoo oppa terbangun.
“Hyun, ada apa kau kesini?”
“Tak apa oppa. Oppa, apa maksud semua ini? Mengapa banyak sekali fotoku di meja belajarmu?” tanya Hyunri mendesak Yongwoo oppa.
“Kau yakin ingin tahu apa maksudnya?”
“Ne, oppa.”
“Dan kau juga ingin tahu siapa yeoja yang kusuka selama ini?”
“Ne, oppa.”
“Inilah yeoja yang selama ini kusuka, dirimu Hyunri.” kata Yongwoo sambil mengambil foto Hyunri yang ada di meja belajarnya.
“Maksudmu apa oppa? Aku tak mengerti.”
“Aku… Menyukaimu, Hyun.”
“Sejak kapan kau menyukaiku?”
“Saat aku pertama kali melihat kau dan Changmin bermain saat pertama kali aku pindah ke rumah ini.”
“Mengapa kau tak pernah mengatakannya padaku, oppa?”
“Karena aku tahu pada saat itu kau masih berpacaran dengan Dongwoo, jadi aku hanya memendam rasa cintaku ini, Hyun.”
“Tapi oppa, memendam rasa cinta itu rasanya sakit sekali oppa.”
“Akan lebih sakit jika aku tau cintaku tak terbalas.”
“Ne, oppa.”
“Mmmmm… Jangan menyerah oppa! Kau pasti bisa!”
“Maksudmu Hyun? Kau memberi kesempatan padaku?”
“Ne, oppa.”
“Aku tak memaksa jika kau masih punya rasa dengan Dongwoo.”
“Anni, oppa. Rasa cintaku padanya telah tiada.”
“Tapi kau bilang, Dongwoo itu cinta pertamamu?”
“Ne. Cinta pertama itu tak penting oppa. Yang penting itu cinta terakhir.”
“Gomawo ne, chagi. Tapi, apa eomma-mu mengizinkannya?”
“Tentu saja. Dia sudah bilang padaku oppa.”
“Gomawo, Hyun.”
“Ne, oppa. You’re MY LAST LOVE!”

Mencontek


Ica tertidur pulas saat Bu Stella menjelaskan pelajaran-pelajaran IPA. “Ca! Bangun Ca!” Bisik Siska membangunkan Ica. “Iya-iya aku bangun..” Jawab Ica dengan mengantuk. “Anak-anak! Sekarang ibu akan beri kalian ulangan! Materinya sesuai dengan yang ibu jelaskan tadi!” Kata Bu Stella dengan tegas.
“Duh.. Gimana nih? Tadi kan aku tidur” bisik Ica dalam hati. Ica sangatlah khawatir tidak dapat mengerjakan soal-soal tersebut. Ica akan bermaksud mencontek. “Aha! Aku kan punya cara jitu untuk mencontek!” Ulangan pun dibagikan. Ica mulai membaca soal-soal tersebut. Dan ternyata ia benar-benar tidak dapat mengerjakan soal-soal tersebut. Ia mulai melakukan cara jitunya tersebut. Cara pertama ialah meminjam penghapus dengan teman di belakangnya dan melirik ulangannya. Cara pertama pun sudah berhasil, tapi Ica tidak menyadari bahwa ia memancing perhatian Bu Stella. Ica memulai dengan cara ke-2. Cara ke-2 adalah mengembalikan penghapus teman di belakangnya tersebut, dan memperhatikan ulangan temannya tersebut. Cara ini berhasil lagi tetapi… “Ica! Kamu benar-benar mencontek! Ibu sudah memperhatikan kamu dan ternyata dari tadi kamu memperhatikan ulangan milik teman kamu tersebut! Karena itu ibu akan berikan ulangan ulang untuk kamu.”
Kringgg!! Kring!!
Bel pun berbunyi. Ica dan Siska segera menuju ke kantin. “Ca.. Kamu bakalan ulangan ulang ya? Jangan nyontek lagi loh, Ca.. Itu bisa menyebabkan kamu dikeluarkan dari sekolah ini..” Tanya Siska memperhatikan temannya tersebut. “Beneran, Ca? Kalau mencontek bakal dikeluarin? Kalau begitu aku akan belajar, deh! Agar dapat nilai baik tanpa mencontek!” Jawab Ica dengan semangat. “Nah gitu dong, sahabatku!” Jawab Sisca dengan riang.
Ulangan ulang pun Ica jalani dengan tenang. Ica pun dapat mengerjakan soal-soal itu dengan baik karena ia telah belajar dengan sungguh-sungguh. Tiba saatnya ulangan pun dibagikan. Ica mendapatkan nilai yang sempurna. Siska pun memberi selamat kepada Ica. Dan Ica pun sangat senang, karena ia mendapat nilai sempurna tanpa mencontek. Sekarang, Ica tidak pernah mencontek lagi.
END

From Enemy to Be Friend

Karya : Oskar Setia W.


Panggung mengambarkan tepi jalan yang ramai..
1.   Cici     : “Bunga, sudah jadi tugas matematika? (sambil      berjalan dengan bunga)”
2. Bunga  : “Kayaknya sih udah. Kamu, sudah jadi? (sambil memegang dompet)”
3. Cici     : “Udah dong.”
4. Bunga  : “Eh Ci, kamu laper gak? (sambil memegang dompet dan memamerkan uangnya)
5. Cici     : “Laper gak ya???? Laper sih”
6. Bunga  : “Oke deh, gue traktir yuk belanja di kantin”
7.  Cici     : “Yuk!”
Ditengah perjalanan, tanpa disadari dompet bunga terjatuh. Setelah sampai dikantin, mereka memilih-milih makanan dan saat membayar...
8.  Bunga : “Loh Ci, dompet gue mana?! (sambil kebingungan merogoh-rogoh kantong)
9.  Cici    : “Mana gue tahu, dompet lo bukan dompet gue..!!”
Setelah kejadian itu terjadi, tiba-tiba Saint dan Oskar datang sambil membawa dompet bunga, sebenarnya mereka berniat untuk mengembalikan dompet tapi....
10.     Oskar     : “Woi! Siapa punya dompet ini?!!!”
11.    Bunga : “Eh! Itu dompet gue!! Kamu maling ya??!!! (sambil melotot dan marah)”
12.     Saint : “Sok banget sih! Orang kita cuma mau ngembaliin dompet ini kok, tadi kami nemuin di jalan”
13.     Cici  : “ Dasar maling! Mana ada maling yang mau ngaku kalo ada pasti penjara dah penuh! (dengan nada penuh amarah)”
14.     Bunga : “Bener banget tuh!”
15.     Oskar : “Enak banget lo bilang kita maling..!! kita itu Cuma mau berniat baik mau ngembaliin ini dompet tau! (menyaut dengan marah)
16.     Cici  : “Alasan aja loh!!!
17.      Bunga : “Eh!! Rakyat jelata, kamseupay iuwwhh... mendingan lo pergi deh dari sini. Gue muak ngeliat tampang lo. Pergi sana!!”
18.     Saint        : “Jangan seenaknya nilai orang dong!”
19.     Bunga   : “Muka lo gak cocok buat belanja di sini! Di sini itu tempat orang-orang WOW tau! (lalu tangan bunga melayang pada pipi kiri saint)
20.    Saint    : (plak!) “Aduh! (dengan kesakitan)
21.     Cici     : “Alah! Gitu aja kesakitan!!”
22.    Saint        : “Ya iyalah sariawan tau!!”
23.    Bunga   : “Terus masalah buat gue??!!”
24.    Oskar        : “Banget..!! Emang lo siapa bisa nampar temen gue seenaknya??!! (dengan marah-marah)
25.    Bunga   : “Gue tu orang kaya nggak kaya lo..! SPP aja nunggak alias ngutang”
26.    Oskar        : “Emang kita miskin tapi kita berdua masih punya hargadiri buat nggak maling”
27.     Saint        : “Bener banget kata lo oskar”
28.    Cici     : “Ya udah kalo gitu bye anak miskin!! (sambil meninggalkan saint dan oskar)   “
Keesokan harinya semua anak kelas 8 mengadakan acara kemah bersama di hutan dekat Gunung Rinjani. Keesokan harinya setelah berkemah anak-anak kelas 8 bermain “Cari Jejak”, karena banyak anak yang tidak suka dengan tingkah laku cici dan bunga, ada anak yang iseng membalik tanda dan membuat bunga dan cici tersesat. Lalu...
29.    Bunga   : “Gimana ini ci,, kita tersesat mana udah mau malem lagi (dengan ketakutan)”
30.    Cici     : “Iya nih, gimana dong bunga?? (sambil mengeluarkan air mata)”
31.     Saint   : “Kemana sih anak-anak itu pergi? (sambil kebingungan)”
32.    Oskar        : “Ngapain sih kita nyari anak-anak itu..?? (dengan sombong)
33.    Saint   : “Loh, bagaimanapun mereka berdua itu temen kita juga, walaupun mereka sering ngejahatin kita”
34.    Oskar   : “Yah, bener juga sih (melanjutkan mencari sambil memanggil-manggil namanya)”
35.    Bunga   : (mendengar namanya dan cici dipanggil) “Ci, itu kayaknya suara saint dan oskar lagi nyari kita deh..”
36.    Cici     : “Bener juga tuh! Saint, Oskar disini! Kami disini!!
37.     Saint   : (lega) akhirnya kalian ketemu juga!
38.    Oskar   : “Capek kita nyarik kalian tau!”
39.    Bunga   : “Saint,oskar makasih terus maafin kita ya udah ngejahatin kalian dan ngatain kalian anak miskin”
40.    Saint   : “Iya gak papa, kita udah maafin itu sejak awal kok”
Sejak saat itu Saint, Oskar, Cici, dan Bunga menjadi teman yang akrab.

Sebuah Dendam


Aku adalah seorang gadis yang berumur 17 tahun, duduk di bangku SMA kelas 2. Ya, namaku Rina. Sekolahku terletak di desa Kalijati. Sekarang aku tinggal bersama adikku dan pamanku. Ibu sudah tiada sejak aku berumur 10 tahun dan ayahku pergi tanpa alasan. Terkadang aku merasa diriku hanyalah anak yang menyedihkan tanpa adanya keberadaan orangtuaku. Banyak hal-hal yang pahit yang kulewati di hidup ini. Hal terpahit yang pernah kulihat adalah saat teman-temanku bertemu dengan orangtua mereka. Rasa sedih dan iri, hanya rasa itu yang timbul di dalam diriku.
Pagi itu aku terbangun karena tiupan angin diluar yang kencang, membuat jendela kamarku terbanting. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Hari itu adalah hari Senin, hari yang aku tunggu-tunggu karena saatnya untuk menimba ilmu dan bertemu dengan teman-teman. Ya mungkin beberapa anak tidak menyukai hari Senin, tapi aku sangat menyukainya.
Tiba-tiba adikku bernama Gio mengetuk pintu kamarku.
“Kak bangun kak, waktunya sekolah.” Gio memanggilku sambil mengetuk pintu kamarku.
“Iya iya sebentar.” Seperti biasa, adikku selalu membangunkan aku, setiap pagi jam setengah enam. Kami selalu berangkat ke sekolah bersama. Aku mengantarkan adikku ke sekolahnya dan setelah itu aku berangkat ke sekolahku. Ini sudah menjadi kebiasaan semenjak dulu.
Pelajaran pertama ku adalah IPA. Aku memasuki kelasku dan duduk di bangku tepat di belakang meja Rendi, salah satu teman yang sekelas dengan ku. Kusiapkan buku-buku ku dan kubaca sedikit materi yang aku sudah pelajari, jadi kalau ditanya guru aku sudah bisa menjawab. Tiba-tiba sahabatku menyapa ku seperti biasa.
“Hey Rina!” sapa sahabat ku bernama Nadia.
“Hi Nad, pagi.” Aku menyapa balik dengan senyuman seperti pagi-pagi lainnya.
“Lagi ngapain?”
“Nih lagi baca-baca aja yang minggu lalu udah diajarin.”
“Eh eh, udah ngerjain pr IPA belum? Gue belum nih.”
“Yang mana? Kan ada dua halaman.”
“Yang itu tuh, hmm sebentar, halaman 57. Bingung banget nih, bacaannya banyak sih.”
“Udah nih, mau lihat?”
“Iya dong, hehehe.”
Walaupun Nadia kadang-kadang suka menyalin pekerjaan rumahku dia tetap teman baikku. Mungkin kalau tidak ada dia sekolah akan terasa sepi. Aku kenal dia sejak aku kelas 4 SD. Waktu itu aku sedang membeli makanan di warung dekat rumah dan aku bertemu dia. Dan kami pun berkenalan dan sejak saat itu jadi sering bermain bersama sampai sekarang pun kami satu sekolah.
Setelah aku belajar beberapa pelajaran, bel istirahat berbunyi. Aku keluar kelas bersama dengan Nadia langsung menuju ke kantin sekolah dan membeli makanan favorit kita berdua, mi ayam Pak Yono. Setelah membeli makan siang kita, aku dan Nadia duduk di bangku di koridor sekolah menghadap ke lapangan. Tiba-tiba saat aku akan melahap makanan ku, Rendi datang menghampiri kita.
“Ikutan makan disini dong!” sapa Rendi.
“Ya makan mah makan aja,” jawab Nadia sambil makan.
“Eh ada Rina!”
“Iya hehe, kenapa sih Ren kalau ada gue?”
“Ya gak papa.”
Makan siang bersama mereka adalah saat-saat yang paling aku nikmati. Kita melakukan perbincangan dengan topik yang berganti-ganti, sambil tertawa-tawa. Setelah jam makan siang berlalu, aku harus siap-siap mengganti pakaian ku karena pelajaran setelah ini adalah olahraga. Materi yang akan kita lakukan adalah lari. Guru olahraga akan memanggil nama siswa satu persatu untuk diuji kemampuan berlarinya. Tak terasa, Pak guru memanggil namaku karena sudah giliranku.
Pada saat aku berlari di bawah terik matahari, kepala ku mulai pusing dan aku merasa tidak akan bisa melanjutkan ini lagi. Badanku terasa berat dan aku pun terjatuh. Tatapan ku melihat langsung ke arah sinar matahari, membuat penglihatanku putih. Benar-benar putih. Tak terlihat apa-apa. Aku hanya mendengar teriakan anak-anak yang memanggil pak guru karena aku terjatuh.
Aku melihat seorang perempuan menangis di sudut ruangan yang tampaknya aku mengenali ruangan tersebut. Ternyata ruangan ini adalah perpustakaan sekolahku. Rambut dia yang panjang dan dia mengenakan kemeja dan rok, seperti pakaian sekolah. Aku bertanya kepada dia.
“Hey kamu kenapa menangis?” tanyaku kepada dia.
“Aku tidak bisa menemukannya,” jawab gadis tersebut.
“Tidak bisa menemukan apa?” Aku menanya balik ke gadis itu. Dia tidak menjawabku dan tetap menangis. Setelah aku bertanya ke perempuan itu, aku mendengarkan suara Rendi dan Nadia. Mereka memanggil-manggil namaku.
“Rina, Rina! Bangun!!” teriak Rendi dengan panik.
“Duh, aku dimana? Kenapa?”
“Rina! Lo tadi pas pelajaran olahraga pingsan, tiba-tiba langsung jatuh gitu, ya udah Rendi langsung angkat lo ke UKS,” jawab Nadia dengan perasaannya yang masih panik itu.
“Gue harus bantu perempuan itu!!”
“Siapa sih Rin? Perempuan siapa?” tanya Rendi dengan terkejut.
“Dia, sosok perempuan yang tadi nangis di sudut ruangan perpustakaan. Katanya dia gak bisa menemukan…” Rina berhenti menghentikan omongannya itu secara tiba-tiba.
“Hah siapa sih Rin? Gak bisa nemu apa? Lo kenapa sih?” tanya Rina dengan penasaran
Aku menyadari bahwa itu hanya mimpi sesaat saat aku pingsan. Tapi disaat aku merasanya mimpi, aku merasa itu nyata. Ini benar-benar kejadian teraneh yang pernah aku rasakan. Aku sedikit merasa takut karena aku merasa aku benar-benar berbicara dengan gadis yang ada di mimpiku itu, melihat muka gadis itu saja aku tidak sempat. Aku tidak bisa melepaskan semua tentang mimpi itu dari pikiranku.
Hari sekolah pun selesai. Selama perjalanan ke rumah aku selalu terbayang-bayang oleh pikiran itu. Kenapa aku mendapatkan mimpi yang menurutku tidak wajar? Apakah aku orang yang terpilih? Langkah demi langkah selama perjalananku pulang, pemikiran itu selalu menempel di otakku. Sesampainya di rumah aku bertemu dengan adikku
“Hi Kak, tadi gimana sekolah?” sapa Gio kepada aku yang sedang membuka sepatu.
“Hey Gio, tadi seru-seru aja kok. Pas pelajaran olahraga…”. Aku berhenti berbicara karena aku teringat kejadian itu.
“Kenapa kak pas pelajaran olahraga?” tanya Gio karena penasaran.
“Gak papa kok Gio,”
“Wah, pasti ada apa-apa nih, kasih tau dong aku jadi penasaran,”
“Ih gak papa kok, semuanya baik-baik aja tau!”
“Hehe maaf kak, aku kan cuma bercanda,”
“Kamu mending kerjain pr aja sana,”
“Entar malem aja ah, eh kakak udah makan belum?”
“Belum nih entar aja gampang kok,”
“Wajah kakak sedikit pucat, sakit ya? Pasti tadi pas olahraga ada apa-apa nih?” Gio bertanya lagi dengan rasa penasarannya yang timbul.
“Hmm, yuk mending kita makan sekarang,”
Aku memilih untuk makan sekarang supaya adikku tidak bertanya-tanya penasaran lagi. Padahal tidak ada rasa nafsu makan sama sekali. Gio dan aku menuju meja makan dan membuka tudung saji yang menutupi makanan di meja. Gio mengambilkan ku sepiring nasi, mungkin karena dia melihatku sakit dan kasihan. Baru pertama kali aku diambilkan piring olehnya, ya terkadang dia begitu perhatian terhadapku. Aku menemani adikku yang begitu lahap memakan makanannya, sedangkan aku, satu lahap pun belum. “Kak makan dong makanannya, kan aku udah ngambilin nasinya. Kakak mau apa? Ikan goreng? Sayur kangkung? Atau apa? Sini aku ambilkan.” tanya adikku dan menawarkan dirinya untuk melayani ku. “Gak papa Gio, aku ambil sendiri, nih aku makan deh.”
Berkat perhatian Gio aku akhirnya bisa makan. Setelah makan bersama berlangsung, kami berbincang-bincang, membahas hal-hal yang tidak penting. Tapi entah kenapa aku dan dia tertawa, kami berdua sangat terhibur dengan perbincangan ini. Selama kita berbincang, tiba-tiba pamanku datang menghampiri kita. “Hey kalian, lagi ngapain? Udah makan?” tanya Pamanku kepada kita yang sedang mengobrol. “Udah Paman, makan gih kita temani deh.” jawab Gio dengan senangnya.
Akhirnya paman ikut mengobrol bersama kita sambil makan. Hari pun semakin malam, aku dan Gio bergegas ke kamar masing-masing untuk beristirahat karena besok adalah hari sekolah.
Keesokan harinya, aku melakukan kegiatan rutinku yaitu mengantarkan adikku ke sekolahnya sebelum aku jalan ke sekolahku. Saat aku di sekolah aku bertemu dengan Nadia dan Rendi.
“Eh Ran, lo udah gak papa kan?” sapa Nadia sambil menepuk pundakku dari belakang.
“Iya gue ok ok aja kok,”
“Beneran nih?” tanya Rendi.
“Iya Reeennn,”
“Lo kemaren ngomong apa sih? Katanya ngeliat cewek gitu…” tanya Nadia dengan penasaran.
“Iya jadi gue baru sadar kalau itu mimpi gue, tapi gak tau kenapa ngerasa beneran deh,”
Kemudian aku menceritakan semua kejadian kepada Rendi dan Nadia. Ya walaupun mereka ngerasa aneh dan ketakutan. Suatu saat, aku ingin ke toilet saat jam pelajaran berlangsung. Aku melewati beberapa kelas di koridor lantai dua dan toilet itu letaknya tepat di ujung koridor. Entah kenapa selagi aku berjalan, ada yang mengikuti dari belakang. Saat aku menoleh ke belakang, tidak ada siapa-siapa. Aku sih biasa saja pada awalnya karena terasa seperti tiupan angin. Tetapi lama-lama aku mendengar langkah kaki dan aku menoleh lagi ke belakang. Sama, tetap tidak ada apa-apa. Aku mempercepat langkahku, dan langkah kaki itu terdengar semakin cepat juga seolah-olah seperti bayanganku sendiri. Aku menoleh ke belakang lagi secara tiba-tiba dan ternyata tidak ada apapun. Jantung ku berdetak kencang karena aku gelisah. Rasa takut mulai mendatangiku. Aku mengurungkan niatku untuk pergi ke toilet dan kembali ke kelas dengan tubuhku yang berkeringat dingin.
Tak terasa jam sekolah pun selesai. Namaku disebut oleh walikelas ku untuk mengerjakan suatu tugas sehingga aku harus pulang lebih lama. Tepat pukul setengah enam sore aku pulang dan langit di luar hampir gelap dan sekolah sangat sepi. Hanya ada tukang bersih-bersih yang sedang menyapu lapangan. Aku berjalan melewati koridor dan menuruni tangga. Ketika aku berjalan di pinggir lapangan, aku sekilas melihat sosok wanita duduk di kursi di pinggir lapangan, tetapi ketika aku melihatnya lagi sosok wanita itu hilang. Mungkin aku hanya pusing banyak pikiran, sehingga aku melihat hal hal yang tidak diinginkan. Lalu aku tetap berjalan dengan santai dan mengabaikan apa yang telah aku lihat barusan. Tiba-tiba aku merasa ada yang membisikkan namaku sambil berkata “Tolong aku” di depan telingaku. Aku langsung menutupi kedua telingaku dengan tangan. Kata “Rina” juga terdengar seperti suara bisikkan. Tubuhku menjadi merinding seakan tak ada hentinya.
“Rina,”
“Rina,”
“Rina…”
Ada yang memanggil namaku tiga kali. Aku menengok ke belakang dan tak ada seorang pun. Perasaanku campur aduk. Gelisah. Takut. Khawatir. Semuanya campur aduk. Suaranya pun tidak kukenal sama sekali. Suaranya menyeramkan, serak, dan bergema. Apakah ada yang mengikutiku? Apakah itu suara gadis yang waktu itu ada di mimpiku? Aku bertanya-tanya pada diriku. Kalau iya, kenapa harus aku yang mendapat mimpi itu dan kenapa dia harus mengikuti setiap langkahku saat aku di sekolah? Keringat dinginku mengucur bersamaan dengan badanku yang merinding. Harusnya aku balik ke kelasku. Tapi aku malah diam berdiri tidak berdaya, seperti ada yang memelukku dari belakang. Aku tidak bisa menggerakan badanku sama skali.
Ternyata benar, aku melihat dua tangan pucat memeluk tepat di atas perutku. Aku merasa berat, benar-benar berat seperti ada yang menahanku untuk pergi. Nangis, hanya itu yang bisa kulakukan. Air mataku jatuh bersamaan dengan keringat dinginku tepat di atas kedua tangan itu. Air itu, keringat dan air mata seiring membasahi kedua tangan itu membentuk sebuah kalimat, Jangan tinggalkan aku. Aku tidak bisa berpikir apa maksud dari kalimat itu.
“Tolong lepaskan aku, tolong!” Aku berteriak karena aku tidak tahan lagi. Tetapi dia malah menahanku lebih kuat. “Tolong!! Aku bakal bantuin kamu kalau kamu lepasin!” Aku berteriak itu sambil menutup mata menahan nangis dan lama-lama tangan itu terlihat seperti pudar dari penglihatanku. Apa maksud dari itu semua? Apakah aku yang terpilih? Tapi kenapa harus aku? Lalu aku berpikir sejenak, jangan-jangan ini ada hubungannya dengan mimpi yang aku pernah lalui saat aku pingsan.
Aku kembali ke kelas dengan sambil memegang kepalaku karena pusing dan muka yang basah. Kemudian Rendi dari belakang menyenggol badan ku dengan pensil.
“Lo kenapa? Abis nangis?”
“Iya, gue gak papa, Ren,”
Selama jam pelajaran berlangsung aku terus berpikir dan berpikir kejadian apa itu. Benar-benar omong kosong dan tidak masuk akal. Apa yang gadis itu inginkan? Aku menceritakan kejadian yang telah aku lalui ke Nadia dan Rendi. Lalu mereka merasa itu semua tidak masuk akal. Mereka berpikir bahwa itu semua ada hubungannya dengan mimpi yang pernah aku rasakan.
Nadia dan Rendi bilang kepadaku bahwa aku harus menolong gadis itu. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara berkomunikasi dengannya. Kita memutuskan untuk datang ke sekolah, besok pada malam hari dan mencoba untuk berkomunikasi dengannya.
Keesokan harinya, kita bertiga tidak langsung pulang sekolah. Kita hanya duduk di kursi sekitar koridor. Aku sengaja tidak pulang, karena aku ingin bertanya apa mau perempuan itu. Aku sangat benci kejadian kemarin. Aku berpikir mungkin kalau aku membantunya, dia akan berhenti menghantuiku. Sambil melihat murid-murid mengenakan tasnya keluar pagar, kita mengobrol banyak hal. Nadia ingin membeli minum diluar karena kantin di sekolah tutup bersama Rendi, sehingga mereka meninggalkan aku sendiri. Aku menunggu mereka sambil membaca-baca buku pelajaranku sambil belajar sedikit-sedikit. Sudah lima menit dan mereka belum balik juga.
Dari kejauhan aku mendengar Nadia berteriak namaku “Rina, Rinaaa”. Dia berdiri bersama Rendi sambil melambaikan tangannya. Tapi anehnya aku melihat dia memanggilku dari perpustakaan lantai dua. Harusnya sih dia tadi keluar sekolah, tapi kenapa ada di lantai dua? Karena aku penasaran, aku datang menghampiri mereka. Saat aku mengampiri mereka di depan pintu perpustakaan, tiba-tiba saja mereka menghilang entah kemana.
Lalu aku mengambil langkah untuk masuk ke perpustakaan. Aku mengecek setiap rak buku di dalam. Tiba-tiba saja Pintu perpustakaan tertutup kencang dan tidak bisa dibuka. Aku mencoba untuk tidak panik dan aku berusaha untuk membukanya pelan-pelan. Pintu itu sama sekali tidak terbuka. Aku mulai panik. Aku berteriak minta tolong tetapi tidak ada yang mendengar, bahkan Rendi dan Nadia pun tidak dengar. Aku mulai duduk menenangi diri, dan berpikir mungkin ini ulah perempuan yang misterius itu. “Kamu mau apa?” Aku bertanya. Tak ada respon sedikit pun. “Cepat jawab!!!” Emosi ku meninggi. Aku muak diganggu seperti ini terus. Dia mengganggu aku tanpa alasan, aku gak ada hubungannya sama sekali. “Maaf,” Aku meminta maaf karena mungkin sudah kesal kepada dia. Aku memejamkan mataku sebentar, duduk bersandar di depan pintu.
“DUUK”
Ada sesuatu yang jatuh di depan ku. Itu seperti album foto lama. Kulihat sebuah foto, pria dan wanita dengan sedikit goresan darah. Sepertinya aku mengenali pria ini. Ya aku sangat mengenali pria ini. Ini pamanku. Tapi siapa wanita ini? Kenapa pamanku ada disini? Aku membalik halaman-halaman sebelumnya. Aku melihat seorang anak kecil perempuan bersama wanita itu. Ada tulisan “Nia dan Ibu Lila, 1996.” dibawah foto itu. Aku menyadari bahwa anak kecil ini adalah perempuan itu dan wanita ini adalah ibunya. Nama dia Nia. Semua foto yang ada gambar pamanku pasti ada goresan darahnya. Ternyata ibunya pernah menjadi seorang guru disini. Aku mencari semua data guru-guru yang sekarang maupun dulu di perpustakaan. Dapat! Aku mendapatkan folder berisi tentang Ibu Lila seperti yang tertulis di album itu. Disitu ada yang pernah menulis bahwa dia bunuh diri, dan anaknya yang bernama Nia itu hilang. Tapi yang membuat aku bertanya-tanya, kenapa ada pamanku di album foto itu? Sangat tidak masuk akal.
Aku keluar lari dari perpustakaan membawa album foto itu. Rendi dan Nadia lari di belakangku, mengejar. “Woi, Rin, lo darimana? Kita cariin dari tadi!!” Nadia berteriak menanyaku dari belakang. “Nad, Ren, ini tuh ada apa-apanya sama paman gue!!! Liat nih liat!!” Aku menangis sambil menyodorkan album foto itu. “Hah… Ini beneran paman lo, Rin,” Mereka menenangkan aku yang sedang menangis tidak karuan ini. Kenapa harus ada hubungannya sama paman?! Membuatku kesal saja. Aku seharusnya tidak boleh kesal sama Paman, karena dia yang menghidupkan aku dan Gio selama ini. Tapi, mau tidak mau aku harus bertanya tentang ini padanya.
Sesampainya dirumah, aku melihat pamanku yang sedang duduk di sofa sambil meminum secangkir kopi. “Paman!! Apa ini?!” Aku bertanya kepada pamanku sambil membanting album foto itu di hadapannya. Aku kecewa. Sungguh!. “Rina, Rina, sabar dulu sabar,” jawab Pamanku yang terlihat panik sambil mencoba menenangkanku. Aku menceritakan semuanya kepada pamanku tentang kejadian-kejadian aneh yang telah menimpaku dan aku juga menceritakan semua tentang foto itu. “Iya Rin, benar, Paman meninggalkan tanggung jawab yang seharusnya Paman tanggung sendiri,” Akhirnya Pamanku mengakui itu semua, bahwa itu benar. “Aku gak mau diganggu lagi, Paman!! Aku gak mau ini terjadi terus!”
“Rina, Paman akan memperbaiki ini semua demi kamu,”
Lalu aku tersenyum dan memeluknya.
Paman berkata kalau dia akan mengunjungi kuburan Bu Lila untuk menjenguknya, memberinya bunga dan meletakkan foto mereka disitu. Dia juga akan datang ke sekolah untuk meminta maaf pada anak Bu Lila. Setelah Paman ke sekolah untuk menemui perempuan itu, Paman tidak pernah balik ke rumah. Dia menghilang begitu saja dan beberapa hari kemudian aku mendengar berita bahwa ada seorang pria yang meninggal di belakang sekolahku, dan setelah ku cari tahu, pria itu adalah Pamanku. Ya. Nia, perempuan itu ternyata dendam tanpa batas kepada Pamanku.

Rabu, 29 Januari 2014

Berat Sahabat

Suara alarm di handphonenya tak mampu kalahkan udara dingin pagi ini. Seharusnya remaja yang baru duduk di bangku 2 SMA ini sudah harus bangun 10 menit yang lalu, tapi gadis bernama lengkap Aeldra Dwi Alana itu masih melingkar di pembaringan. Hampir setiap pagi Ibu kost turun tangan membangunkannya.
“El… Sudah jam 06.30, lo udah bangun?” Tanya Bu Nani. Tak ada jawaban. Wanita berkepala 4 itu kembali mengetuk pintu, kali ini agak keras.
“Ayo bangun El, nanti kamu telat lagi ke sekolah.”
“Iyaa…” Beberapa menit kemudian gadis itu keluar sambil merapikan ikat pinggangnya.
“Lo gak mandi?” selidik Bu Kost sambil mengendus.
El nyengir, “Apa gunanya parfum kalau El harus mandi setiap pagi.”
Bu Nani hanya menggeleng dan membiarkan gadis itu berlalu
“El…” seorang gadis bertubuh mungil dengan pita pink di rambutnya berdiri di pintu kelas. Keysha memang selalu datang lebih awal.
Keysha dan El adalah teman baik sejak duduk di bangku kelas 1. El adalah pendengar yang baik untuk Keysha, mungkin ini yang membuat gadis manja itu merasa nyaman berteman dengan El. Banyak yang bilang Keysha itu menyebalkan tapi tidak bagi El, begitu juga anggapan tentang El yang cuek dan dingin tak membuat Keysha kemudian memilih teman yang lain. Ya, meskipun harus diakui Keysha adalah pemilih.
“Berangkat tadi gue dibonceng Kak Jovan,” bisik Keysha.
“Kapan lo mau traktir gue?”
“Gue belum jadian. Kebetulan aja tadi motor Mas Indra mogok, jadilah aku dibonceng sama Kak Jovan,” terang Keysha.
Memang sejak keduanya berteman hanya Jovan yang melulu Keysha ceritakan. Sepertinya dia sudah jatuh hati dengan cowok maskulin itu. Sementara El tak pernah cerita tentang cowok, hanya 2-3 kali cerita itu pun tentang cintanya yang selalu berakhir tragis. Dia lebih sering mengeluh tentang PR Kimia atau Fisikanya yang tak pernah beres ia kerjakan di kost.
“El, besok sepulang sekolah kumpul di ruang OSIS rapat persiapan ulang tahun sekolah,” kata Bobby anak kelas sebelah.
“Oke. Thanks ya infonya.” Bobby hanya menunjukkan ibu jarinya dan berlalu.
Sepulang sekolah tidak seperti biasanya, Keysha langsung keluar tanpa menunggu El yang masih sibuk dengan tas dan buku-bukunya. Konon katanya mau nyalon. Dan Jovan adalah alasannya terburu-buru.
“Efek jatuh hati,” batin El sambil geleng-geleng kepala.
Keysha selalu peduli dengan penampilan, rambut merupakan salah satu yang selalu menjadi perhatian. Setiap minggu selalu ada jadwal ke salon, yang creambath, manicure pedicure, massage atau sekedar memotong ujung rambutnya yang mulai bercabang. Mengikuti perkembangan trend terbaru untuk penataan rambut adalah sebuah keharusan baginya.
Pukul 14.30 Keysha sudah tiba di salon Bu Nani. Salon yang selalu ramai itu memang milik Bu Nani, beliau datang hanya untuk memantau anak buahnya. Tapi itu tidak berlaku ketika Keysha datang, Bu Nani lah yang harus turun tangan melayani pelanggan setianya itu.
“Hai Ke…” sapa Bu Nani ramah.
“Key, pake ‘y’ Bu,” Keysha membenarkan pengucapan namanya yang sebenarnya tidak penting itu. Tapi ia selalu melakukan hal itu ketika apa yang ia dengar tak seperti yang ia inginkan. Bu Nani hanya tersenyum.
“Siapa Key, pacar Keysha ya?” tanya Bu Nani melihat lelaki di samping Keysha yang dari tadi tak mengucapkan sepatah katapun.
Keysha hanya tersenyum tanpa menjawab. “Model rambut yang bakal trend tahun depan gimana Bu?” tanya Keysha sambil duduk dan mengambil salah satu majalah di hadapannya.
“Tahun depan akan serba volume tanpa sasak,” jawabnya singkat sambil terus bekerja.
Keesokan Harinya
Persis seperti apa yang El duga, hari ini Keysha sudah pasti menceritakan hari pertamanya hang out bareng Jovan. Ke salon, shoping, nonton, makan dan bla bla bla. Jelas sekali terlihat kebahagiaan itu di matanya. Betapa tidak, dalam waktu kurang dari 2 minggu dia sudah berhasil mengajaknya keluar.
Keysha memang selalu menarik perhatian, wajahnya cantik, bersih, smart, supel. Cowok mana yang bisa menolaknya. Cewek-cewek banyak yang kurang menyukainya bisa jadi karena mereka iri melihat kelebihan-kelebihan itu. Entahlah…
“Woi!!!” seseorang menepuk bahu El.
“Key…” ucap El setelah melihat wajah gadis ayu itu.
“Ngelamun mulu. Temenin gue yuk, lo gak ada kegiatan apa-apa kan?”
“Gue ada rapat OSIS 10 menit lagi,” dilihatnya jam di pergelangan tangannya.
“Yaaah. Mas Indra ngajak gue maen, ada temen-temennya juga. Masa gue cewek ndiri?!” Keysha terlihat kecewa. El tak menyahut. “Ya udah. Tapi lain kali harus mau ya.”
“Iya. Apa sih yang gak buat lo… Gue duluan ya, udah pada kumpul tuh.” El beranjak dari duduknya, sementara Keysha pergi bersama Mas Indra.
Di dalam ruang OSIS hanya ketua dan sekretaris OSIS yang belum terlihat. Rapat hari ini diikuti oleh 10 MPK dan 39 pengurus OSIS tanpa Pembina. Begitu yang ditunggu memasuki ruangan, rapat segera dibuka dengan do’a dipimpin oleh Ketua OSIS.
“Ulang tahun sekolah akan diadakan satu minggu setelah ujian semester, itu artinya kita masih punya waktu sekitar satu bulan untuk persiapan. Besar harapan saya persiapan beres sebelum ujian semester, jadi ketika ujian semester kita sudah tidak lagi terbebani dengan hal-hal menyangkut acara nanti. Temen-temen pengurus OSIS dan MPK silakan yang mempunyai usul…”
Satu per satu mengeluarkan pendapatnya, sementara El hanya diam sambil memainkan pulpen di tangannya, sesekali melihat jam di tangannya.
45 menit berikutnya Ketua OSIS sudah membacakan hasil rapat dilanjutkan dengan bacaan hamdalah, tanda rapat selesai. El menghela napas sambil bangkit dari duduknya.
Kriiing kriiing kriing… HP El berbunyi. “Keysha,” gumamnya setelah membaca nama yang muncul di layar handphonenya.
“Kenapa Key?”
“BT. Gue pikir ada Kak Jovan juga, ternyata gak ada,” jawab Keysha dari seberang.
“Besok juga ketemu di sekolah, berdo’a aja ban Mas Indra kempes lagi biar bisa boncengan sama Kak Jovan,” canda El.
“Ada-ada aja lo. Udah kelar rapatnya?”
“Baru kelar, ini gue lagi jalan pulang.”
“Ya udah, istirahat sampai kost jangan ngelayap cari kesibukan,” Keysha memberi perhatian. Keysha hanya mengiyakan dan memasukkan handphonenya ke saku setelah Keysha menutup pembicaraan.
Setiba di kost El langsung ganti pakaian dan bergegas keluar cari makan, sedari tadi perutnya sudah keroncongan. Tepat di sebelah kost ada tongkrongan anak-anak gaul yang super komplit. Ada warung makannya, ada studio musiknya, dan ada distronya juga. Yang satu ini bukan milik Bu Nani ya.
“El.”
El langsung mencari sumber suara. Jleb. Cowok berbadan tinggi dengan seragam SMA itu tersenyum manis.
“Kak Jovan?” El sedikit gugup. “Ngapain disini? Masih pakai seragam lagi.”
“Latihan sama anak-anak buat acara ulang tahun sekolah, pulang sekolah langsung cabut kesini. Lo sendiri ngapain?”
“Cari makan,” jawab El meringis.
“Rumah lo deket sini?” tanya Jovan sedikit mengintrogasi.
“Aku kost persis di sebelah.”
Jovan mengangguk kemudian memanggil pelayan dan memesan makan. ‘Lah, kok jadi kaya janjian mau makan bareng gini? Satu meja lagi, kalau Keysha tahu bisa ngamuk,’ batin El sambil menyantap makanan di depannya.
Diam-diam Jovan memperhatikan, “Kenapa El? Keberatan gue duduk disini?”
“Oooh gak, gak papa. Ini kan tempat umum, bebas, asal jangan di tempat parkir aja makannya.” Jovan tertawa. Begitulah trik El untuk menyembunyikan kegugupannya.
Beberapa menit kemudian Jovan beranjak mengajak El gabung sama temen-temen band nya yang sudah menunggu di studio. Berhubung makan dan minum El Jovan yang bayar, El pun tak sampai hati menolak ajakan Jovan. Kalau boleh jujur sih El lebih memilih tidur di kost daripada duduk manis dengerin musik yang super berisik itu, menurut El siiih.
Dan entah kenapa semenjak pertemuan itu didukung dengan intensitas latihan band nya, El dan Jovan sering bertemu dan menghabiskan waktu bersama di tempat gaul itu. Sekedar ngobrol saja sih, sharing soal hobby masing-masing, dll.
Menjelang hari H -ulang tahun sekolah- El dan anak-anak OSIS benar-benar sibuk dibuatnya. Keysha yang terbiasa menghabiskan hampir setengah hari bersama El merasa sepi. Waktu El yang biasanya hanya untuk mendengar ceritanya harus terbagi.
“El, hari ini gue nginep kost lo ya. Motor Mas Indra masih di bengkel, gue juga gak bisa lagi bonceng Kak Jovan soalnya Mas Indra udah booking duluan,” Keysha sedikit memohon. El hanya mengangguk sambil memberikan kunci kost nya.
“Lo pulang duluan aja, gue masih banyak urusan. Acaranya kan besok, banyak yang belum beres.”
Keysha mengangguk dan meninggalkan gadis berpenampilan ala kadarnya itu. El memang cuek tapi tidak ketika ia diberi kepercayaan atau tugas, sampai hal terkecil pun ia lakukan dengan sangat teliti dengan tangannya sendiri.
Sekitar jam 16.30 WIB El sudah tiba di kostnya. Di dapatinya sahabatnya yang mungil itu sedang duduk membaca buku.
“Key… Baca apaan lo?”
“Eh El. Baca buku Raditya Dika nih, penulis favorit lo. Tadinya mau baca diary lo tapi gak ketemu gue cari,” jawab Keysha tersenyum.
El tertawa, “Gue mana punya diary. Kalaupun punya, bingung apaan yang mau gue tulis.” El melempar tasnya dan merebahkan badannya di atas pembaringan.
“Emang lo gak pernah kagum sama cowok?” tanya Keysha. “Minimal lo suka gitu, atau deket barangkali sama cowok?” Kali ini Keysha sedikit mengintrogasi.
El diam, matanya menerawang seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. “Kan dulu gue pernah cerita, gue udah lupain. Eh, lo gimana sama Kak Jovan?” Keysha balik tanya.
Kali ini Keysha yang diam, padahal biasanya tanpa ditanya dia nya udah nyerocos cerita. Di tatapnya mata Keysha dalam-dalam.
“Gue harus puas dengan menjadi pengagumnya.”
El tidak mengerti, “Kenapa?”
“Bertepuk sebelah tangan. Kayaknya dia suka sama orang lain.”
“Lo tau darimana?”
“Belum pasti sih, cuma gue gak mau terlalu berharap.” Raut wajah Keysha berubah, “Lagian selama gue deket, dia gak pernah nunjukin kalau dia tertarik sama gue dan bodohnya gue baru sadar.”
El tidak menyahut, dipeluknya sahabat yang sedang berduka itu. Sampai malam tiba, Keysha lebih banyak diam dan terus membaca novel Manusia Setengah Salmon yang filmnya beberapa hari lalu dia tonton bersama Jovan dan Mas Indra.
Sekitar jam 06.00 Keysha dan El sudah siap berangkat ke sekolah. Biasanya jam segini El masih tidur dan baru bangun 30 menit kemudian. Sementara Keysha biasanya sedang di pinggir jalan menunggu sang arjuna lewat dan menawari tumpangan. Tidak hanya Keysha dan El, siswa-siswi yang lain pun menyambut acara HUT sekolah ini dengan semangat.
Apalagi begitu acara formal selesai, semua menjadi satu di depan sebuah panggung yang sengaja disediakan oleh OSIS. Ada beberapa pentas seni dari siswa-siswi dan yang paling ditunggu adalah penampilan Friday, band kenamaan sekolah. Jovan adalah salah satu personilnya.
“Key… El…” seseorang memanggil dua sahabat yang sedang duduk menikmati lantunan lagu dari band kelasnya.
“Kak Jovan? Bukannya sebentar lagi tampil?” Keysha salah tingkah.
Cowok bernama lengkap Andromeda Jovanka itu tersenyum.
“Oh ya El, gimana suka gak bukunya?” tanya Jovan pada El yang sedari tadi pura-pura gak ngeh sama kedatangan Jovan.
“Apa?!” Suara musik di aula membuat El tidak begitu jelas mendengar pertanyaan Jovan.
“Suka gak bukunya?” Jovan mengulang. Raut wajah Keysha yang gelisah tidak bisa lagi disembunyikan.
“Mmmm… El udah baca kok Kak kemarin, malah langsung habis semalem,” buru-buru Keysha menjawab. El hanya bengong.
“Bagus deh. Kalau gitu gue duluan ya, mau siap-siap,” pamit Jovan.
Begitu Jovan berlalu El langsung menatap Keysha penuh tanya. Aneh, El merasa ada yang disembunyikan Keysha.
Keysha menarik lengan El, mengajaknya keluar dari aula yang bising itu. “Sorry El.”
“Gue gak ngerti.” El bingung.
“Buku yang gue baca kemarin punya lo… Dari Kak Jovan. Dia datang ke kost lo beberapa menit setelah gue sampai.”
“Becanda lo…” El tidak percaya.
“Sebenarnya minggu lalu juga dia ajak lo nonton bareng gue sama Mas Indra, cuma gue gak suka gue bilang lo gak bisa. Lo sibuk. Makanya dia beliin buku itu buat lo.” Keysha sama sekali tak berani menatap El. “Maafin gue El…” akhirnya sambil berlalu.
El bingung, cerita cintanya dengan 2 cowok sebelumnya begitu dramatis dan berakhir dengan sakit hati karena dikhianati. Dan kini, dia merasa sedang memainkan peran dalam sebuah sinetron remaja. Haduuuh kenapa jadi sinetron banget ceritanya.
Badan El serentak bergetar ketika musik di dalam ruangan yang biasa digunakan untuk rapat wali murid itu berhenti dan seseorang melalui pengeras suara memanggil namanya.
“Aeldra Dwi Alana… El… Gue mohon naik ke atas stage.”
Suara itu, ada apalagi ini?! Perasaan El berkecamuk, dia masih diam di tempat hingga seseorang datang menghampirinya.
“Keysha?!”
“Lo gak denger nama lo dipanggil naik ke stage?!” Keysha kali ini tersenyum dan menggandeng karibnya yang sedang galau itu. “Seseorang menunggumu di atas sana.”
Tepuk tangan riuh seluruh siswa pecah melihat gadis bernama Aeldra Dwi Alana itu naik ke atas panggung. Jovan menyambutnya.
“Gue mau bawain lagu seorang penyanyi Australia yang sosoknya begitu dikenal di era 1990-an. Dan gue denger cewek di sebelah gue ini suka banget dengan lagu-lagunya. Rick Price – If You are My Baby,” Jovan mulai memetik senar gitar disambut tepuk tangan anak-anak.
Dulu Keysha pernah cerita, pengen banget ada cowok nyanyiin lagu untuknya dan menyatakan cinta di depan orang banyak, sebagai bukti cintanya. Keysha banget ini, bukan El. Bahkan ia tak pernah sekalipun bermimpi begini.
“El… Lama gue nunggu saat ini tiba, dan gue rasa ini adalah waktu yang tepat. Will you be my baby?” tanya Jovan usai menyanyikan lagu. Tatapannya begitu dalam.
Anak-anak kembali bersorak menyoraki El agar menerima Jovan sebagai kekasihnya.
Dari atas stage El melihat senyum Keysha yang entah pura-pura atau tidak seolah sudah berlapang dada. El merasa aneh, serasa sedang di acara reality show dimana orang akan memberikan kejutan untuk orang yang ia sayangi kemudian menyatakan perasaannya. Ihhh norak, pikir El.
El menghela napas panjang. El kembali menoleh ke arah Keysha, cewek di sebelah stage itu mengangguk.
“Sebelumnya makasih buat Kak Jovan yang rela semua orang tau tentang perasaannya. Mungkin status pelajar bukan alasan yang tepat untuk menolak. Trauma dikhianati juga bukan alasan logis karena gue yakin Kak Jovan bakal jaga gue. Tapi jujur ada hati lain yang harus gue jaga, jadi maaf, El gak bisa,” jelasnya sambil berlalu.
Mereka yang menyaksikan seolah kecewa. Kenapa? Jovan adalah salah satu cowok yang menjadi idola banyak cewek di sekolah. Tampan, pinter, jago basket, jago musik. Kurang apalagi? Bodohnya El… Banyak wanita berlomba menarik perhatiannya, sementara El yang tak pernah melakukan apa-apa dengan mudah membuat cowok itu jatuh hati.
“Kenapa El? karena gue?” tanya Keysha. “Gue seneng liat lo bahagia.”
“Lo sahabat gue, gue kenal lo banget, bahkan gue rasain apa yang gak lo katakan. Timbangan gue berat ke lo Key.”
Mata Keysha berkaca, “Tapi El…”
“Ssstt… Mungkin sekarang bukan waktu yang tepat, toh kalau memang jodoh Tuhan pasti menunjukkan jalan lain,” El tersenyum.
Keysha pun memeluk El erat.

Pengorbanan Sahabat

Waktu itu tahun 2010. Waktu itu Mei duduk di kelas 6 SD. Mei adalah anak yang pintar, pendiam dan pemalu. Tapi, di kelasnya dia lah yang mengatur semua saat tak ada guru. Lebih tepatnya Mei lah yang berkuasa.
Seperti biasa Mei berangkat sekolah pagi-pagi dengan mengayuh sepedanya. Sesampai di sekolah, dia langsung mengisi absen. Hari-hari yang Mei rasakan setiap hari terasa membosankan baginya. Setiap hari yang dilakukannya sama. Pergi sekolah dan belajar. Apalagi ditambah dengan teman-temannya yang sering membuatnya mau meledak marah-marah.
Setiap hari.. Mei selalu berpikir. “Apakah teman-teman ku tulus berteman dengan ku? Apa teman-teman tak memanfaatkan ku?” Mei memang akrab dengan semua temannya. Tapi dia merasa tak pernah punya sahabat. Dia takut kalau-kalau hanya dimanfaatkan oleh temannya.
Suatu hari tak disangka entah mulai kapan Mei merasa punya sahabat. Akhir-akhir ini dia selalu mendengar curhatan salah satu temannya. Dialah Novi, anak yang digosipkan mulai kelas 4 SD punya perasaan sama temannya yang bernama Leo. Novi memang tidak pernah berkata langsung pada Mei bahwa dia menyukai Leo. Tapi Mei tau Novi menyimpan perasaan pada Leo, begitupun sebaliknya. Karena itu, Mei sekarang sering membantu Novi untuk dekat dengan Leo. Termasuk mencarikan informasi-informasi tentang Leo.
Tak terasa Mei mulai tertarik masuk ke dalam kehidupan Leo. Mei sering sekali berkomunikasi dengan Leo lewat handphone. Bercerita tentang Novi, barang yang disukanya, yang dibencinya dan lain lain. Tapi itu hanya di handphone. Tidak dengan di sekolah. Di sekolah, seperti biasa Leo dan Mei saling nyuekin. Padahal sebenarnya mereka akrab.
Keesokan harinya, Novi meminta bantuan Mei untuk menanyakan warna kesukaan Leo. Dengan mudahnya, Mei menyetujui permintaan sahabatnya itu. Akhirnya waktu jam pelajaran berlangsung, Mei melempar kertas kepada Leo untuk menanyakan warna kesukaannya.
Teman Leo, Andi anak yang paling suka buat keributan di kelas mau tau apa tulisan yang ada di kertas yang dilempar Mei pada Leo. Waktu Andi memegang kertas itu, pak guru mengambilnya. Ternyata… itu bukan kertas yang Mei lempar tadi. Melainkan kertas yang lain. “Fiiuuhh..” desah Mei lega. Mei bisa malu jika ketahuan.
Akhirnya Mei mendapatkan jawaban apa warna kesukaan Leo. Waktu istirahat, Mei langsung memberi tahu informasi itu kepada Novi. Entah apa yang mau Novi lakukan setelah dia mengetahui warna kesukaan Leo. Mungkin Novi mau memberinya hadiah. Tapi, entahlah. Mei tak mau ikut campur dengan itu. Mei selalu diajarkan oleh orangtuanya untuk membedakan mana yang membatu dan mana yang ikut campur masalah orang.
Sepulang Sekolah
Mei mendapat pesan dari Leo.
From : Leo
To : Mei
Mei, apa kamu punya nomer ponsel Novi?
Mei langsung membalas pesar dari Leo
From : Mei
To : Leo
Enggak! Emangnya kenapa?
Leo, aku boleh nanya satu hal gak? Kenapa sih kamu cuek banget sama aku waktu di sekolah. Padahal kita sekarang akrab.
Akhirnya Mei menanyakan juga apa yang selama ini dia pikirkan.
From : Leo
To : Mei
Sorry.. sorry! yah aku cuma gak mau ada gosip-gosip lagi. Kamu kan tau gimana temen-temen.
Hm..
Mei, kamu mau kan jadi sahabat aku?
Mei heran dengan pertanyaan Leo. Menurut Mei, selama ini Leo sudah menjadi sahabatnya. Dan akhirnya dia langsung membalas pesan dari Leo.
From : Mei
To : Leo
Menurut kamu selama ini kita gak sahabatan? Aku udah anggap kamu sahabat aku.
Sejak saat itu Leo dan Mei semakin akrab. Bukan hanya Novi yang menjadi topik obrolan mereka. Kadang mereka bertukar cerita, sharing, dan ketawa bareng. Mereka juga punya julukan masing-masing. Leo memanggil Mei dengan sebutan FF. Dan Mei memanggil Leo dengan sebutan SF. Itu sudak berjala sekitar 1 minggu. Makin lama Mei merasakan ada yang berbeda dengannya. Merasa ada sesuatu yang terjadi pada hatinya. Dia menyukai Leo.
Sebenarnya, Mei sudah menyukai Leo sejak 2 bulan yang lalu. Tepatnya sejak Mei memutuskan untuk membantu Novi. Tapi Mei tau tak seharusnya Mei mempunyai perasaan itu karena Leo adalah milik Novi. Mei juga tahu diri kalau mereka berdua sama-sama suka. Mei tak mau merebut apa yang menjadi milik sahabatnya.
Yang penting buat Mei sekarang, dia bisa dekat dengan Leo walaupun hanya sebatas sahabat. Tapi dia suka berada di dekat Leo. Mei sudah berjanji akan menjadi sahabat terbaik buat Leo. Dia akan terus membantu dua sahabatnya, Leo dan Novi.
Juni, 2010
Waktu rekreasi, Novi dan Leo bertukar kado dengan bantuan Mei.
“Mei, Leo mau minta bantuan kamu.” ucap Rozak dengan lirih
“Bantuan apa?” Balas Mei.
“Leo mau ngasi sesuatu sama Novi. Leo mau kamu yang ngasi ke Novi.” ujar Rozak.
“Kenapa gak ngasi sendiri aja?” Tanya Mei
“Katanya Leo malu” Jawab Rozak
“Dasar pemalu. Mau minta tolong sama aku aja, gak berani ngomong sendiri.” Gerutu Mei. “Ya udah mana barangnya.” ucap Mei menyetujui permintaan bantuan Leo. Setelah itu Mei langsung memberikan barang yang ingin dikasi Leo sama Novi.
Yang membuat Mei iri adalah Leo memberi Novi kalung bertuliskan nama NOVI. Tapi Mei langsung menghilangkan perasaan iri itu. Mei rela melakukan apasaja asalkan sahabatnya bahagia. Kalau Novi dan Leo bahagia, Mei juga akan bahagia. Mei adalah orang yang sangat menjunjung tinggi nilai persahabatan. Dia selalu mengalah untuk sahabatnya demi utuhnya persahabatannya.
Akhirnya tiba di akhir tahun saat perpisahan tiba. Mereka harus melanjutkan sekolah yang lebih tinggi. Leo, Novi dan Mei pisah sekolah. Mei sempat membujuk Leo agar mau satu sekolah dengannya. Tapi Leo bilang sudah terlanjur janji pada Andi kalau dia mau satu sekolah dengan Andi. Akhirnya mereka semua pisah sekolah.
Tiga hari menjalani Masa Orientasi membuat Mei dan teman-teman sibuk. Begitu juga Leo. Selama tiga hari, Mei dan Leo gak berkomunikasi. Setelah selesai Masa Orientasi, mei mencoba menghubungi Leo. Tapi Leo gak pernah merespon. Beribu kali dia mengirim pesan kepada Leo, tapi tidak ada jawaban sama sekali. Karena sebal, akhirnya Mei memutuskan untuk tidak menghubungi Leo lagi.
Selama lebih dari satu tahun, Leo dan Mei tidak berkomunikasi. Dan tiba-tiba Mei mendapat kabar kalau Leo sudah mempunyai pacar di sekolahnya yang baru. Mei semakin sebal dengan Leo. Bukan karena dia masih menyukai Leo, tapi karena dia telah menyakiti Novi sahabatnya. Mei telah membuang jauh-jauh perasaannya sama Leo.
Mei sadar, bahwa perasaannya dulu sama Leo itu bukanlah rasa suka atau cinta. Melainkan Mei hanya suka dengan kepribadian Leo yang perhatian. Perasaan suka yang hanya sebatas teman menyukai kepribadian temannya. Mei merasa seperti itu karena itu adalah pertama kali ada laki-laki yang begitu memperhatikannya.
Sejak saat itu mei memutuskan untuk tidak mengurusi lagi semuanya tentang Leo. Mei mungkin marah sama Leo. Tapi Mei tidak bisa benar-benar melupakan Leo karena Leo adalah sahabatnya yang paling mengerti gimana Mei. Sampai saatnya Mei duduk di kelas 8 SMP. Waktu itu dia masuk di kelas unggulan. Mei mempunyai teman yang sangat baik, yang selalu membuatnya bisa tertawa gembira dalam hangatnya kekeluargaan. Dan dalam sekejap dia dapat melupakan segalanya yang berhubungan dengan Leo. Tapi Mei masih tetap menganggap Leo sebagai sahabat. Buat Mei gak ada kata yang namanya mantan sahabat.
Mei berharap suatu saat nanti dia dan Leo akan kembali seperti dulu. Menjadi sahabat yang tak kan terpisahkan. Mei tak akan pernah melupakan janjinya untuk menjadi sahabat yang terbaik untuk Leo. Mei akan selalu menunggu Leo untuk kembali menjadi sahabatnya.
~ TAMAT ~

Jumat, 24 Januari 2014

Terkejut



Kemarin siang tepatnya tanggal 30 Oktober 2013 Saya, Arfi, Yaza, Fira dan Nano berencana mengerjakan tugas bahasa Indonesia bersama di rumah Fira. Kami janjian datang ke rumah Fira pukul 14.00. Saya berangkat dari rumah pukul 13.45 dan berangkat ke rumah Yaza untuk menjemputnya. Setalah itu, kami langsung ke rumah Arfi untuk memanggilnya. Saya dan Yaza berangkat duluan ke rumah Fira, karena tidak mau menunggu Arfi yang sedang makan ES.
Sesampainya dirumah Fira, Saya dan Yaza langsung mengerjakan tugas. Lalu Arfipun datang dan langsung menyusun kata untuk diceritakan. Kami menunggu Nano datang, tapi tak kunjung datang. Dan kamipun mengerjakan tugas Bahasa Indonesia berempat. Setelah selesai mengerjakan tugas Bahasa Indonesia, kamipun bercerita-cerita tentang awal mula pacarannya Arfi, dan kami juga bercerita-cerita tentang Mida yang ditilang. Kami bercerita sambil internetan dan sambil tertawa mendengarkan cerita Mida yang ditilang. Setelah bercerita-cerita, tidak terasa waktu menunjukkan pukul 16.15. Saya, Yaza dan Arfi berpamitan untuk pulang ke Fira. Fira juga mau pergi les ke GO.
Saya mengantar Yaza pulang tapi kami pergi berkeliling-keliling ke GO dan Smansa. Setelah sampai di GO, saya mengantar Yaza pergi kerumah Audy. Setelah jalan menuju kerumah Audy, Saya dan Yaza kaget melihat Pol-PP yang sedang berjaga di Lapnas ( Lapangan Nasional ). Saya dan Yaza terkejut melihat Pol-PP yang sedang berjaga, karena Kami kira itu Polisi yang sedang merazia orang. Saya juga terkejut karena Saya dan Yaza salah jalur, dan Pol=PP tersebut menegur kami. Kamipun langsung kabur karena kami kira mereka akan merazia kami.
 Saya dan Yaza langsung kabur kerumah Audy. Sambil tertawa diperjalan kerumah Audy kamipun sampai dirumahnya Audy, Saya langsung pulang kerumah. Saya masih degdegan karena mengingat kejadian yang tadi. Setelah sampai dirumah, saya langsung mengetik tugas Bahasa Indonesia itu. Setelah selesai mengetik, saya bertirahat sejenak. Selesai bertirahat, Saya langsung pergi ke warnet untuk memprint tugas tersebut.
 

Blogger news

Blogroll

About